Sunday, January 10, 2016

[Book Review] Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Darmono

Writer : Sapardi Djoko Darmono
Publisher : GPU
Format : Paperback, 114 pages
Publishing date : 18th, June 2015
Language : Bahasa Indonesia
Genre : Fiction, Contemporary
Source : Bought at Gramedia Book Store (56k)
Read on January, 6th 2016
My rating : 4 of 5

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.


Bagaimana mungkin. 
“Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk.” 

Inilah Sarwono, dosen muda Antropologi kebanggaan UI, berperawakan cungkring aseli wong Solo, cerdas bukan kepalang namun gayanya agak Zadul, ahli menulis puisi cengeng, kesayangan para dosen senior, dan punya calon isteri, bernama Pingkan, keturunan manado-jawa yang ehm...jadi dambaan hati banyak pria.

Tidak ada yang salah dengan hubungan romansa dua anak manusia ini, keduanya adalah pasangan serasi, sama-sama dosen muda, cerdas tak terpelak, tipikal anak muda kebanggaan NKRI. Hanya satu masalah mereka, yang diyakini Sarwono, masalah ini sudah timbul sejak jaman nenek moyang, tidak pernah kuno hingga sekarang, yaitu perbedaan keyakinan dua insan.

Sarwono, yang beragama islam, yang taat mengerjakan shalat lima waktu, dan rajin pergi ke masjid setiap hari Jumat, berbeda dengan Pingkan, sebagai wanita peleburan dua suku, Manado - Jawa, mempunyai keyakinan yang betolak belakang dengan Sarwono.
Ternyata dari perbedaan keyakinan ini berbuntut panjang ke yang lain-lain, khususnya keberatan dari keluarga Manado, pihak Pingkan. Yang menginginkan Pingkan menantu dengan orang Minahasa, si Matindas, dosen muda perlente di UNSRAT. Seperti layaknya legenda Minahasa, Putri Pingkan memang ditakdirkan utk menikahi Sang Matindas, bukan orang jawa seperti Si Sarwono.

Sarwono pun bermurung durja, sedih memikirkan nasib, masa depan dirinya dan Pingkan, khayalan-khayalan liar mulai berkejar-kejaran dalam pikirannya. Namun, seakan mengetahui kegalauan Sarwono, ibu Pingkan ternyata merestui hubungan dua sejoli yanng sedang kasmaran ini.

Mengetahui hal ini Sarwono riang tak terperi, ingin diteriakkannya pada dunia kabar gembira ini, hatinya membuncah bahagia, disunggingkannya senyuman dan disapanya semua orang dijalanan, terpontal-pontal  Sarwono pulang untuk menyampaikan kabar suka cita ini kepada Ibu dan Bapaknya. Dalam hatinya, tak henti hentinya berdendang kata, Si Pingkan bakal jadi bojo ku...

Kebahagian Sarwono sayangnya hanya sesaat, baru saja dirinya berasa bak disurga, sepotong hatinya yang lemah itu harus kembali terguncang, karena Pingkan, calon bojo-nya itu harus berangkat ke Jepang untuk melanjutkan studi dengan jadwal yang lebih cepat dari yang ditentukan.

Alamak! Kata Sarwono kepada diri sendiri, teringat dia pada si Sontoloyo Kyoto, orang Jepang, temannya Pingkan yang menurut Sarwono menaruh hati pada Pingkan.
Sudah terbersit skenario terburuk yang akan terjadi apabila Pingkan dibiarkan sendiri saja dengan si Sontoloyo itu.
source here, edited by me,
Apakah aku akan membiarkan ini terjadi begitu saja? Sarwono habis-habisan menyakini bahwa cintanya kepada Pingkan adalah takdir dan bukan sekedar nasib. Takdir tidak bisa diubah, sedangkan nasib tergantung kepada usaha manusia.
Itulah sedikit kisah tentang cerita Sarwono dan Pingkan dalam novel pendek Hujan Bulan Juni, meskipun tebalnya kurang dari 150 halaman, buku ini memberikan pengalaman berbeda dibanding dengan membaca novel2 lainnya. Saya berasa sudah memasuki pikiran si Sarwono dan tertawa berkali-kali karena kekonyolan Sarwono yang luar biasa Zadul ini. Selain itu, jika saya bisa mengatakan, Pak Sapardi adalah salah satu penulis yang susah "move on", buku ini mungkin terlalu panjang untuk menjadi prosa puisi, namun diksinya terlalu indah untuk dikatakan sebagai novel. Mendayu-dayu, cengeng, dan romantis. Begitulah saya menilainya. Tak lupa pula Pak Sapardi menyisipkan potret wajah Indonesia masa kini, tentang sumpeknya Jakarta, tentang adat-istiadat orang Jawa, tentang kebiasaan-kebiasaam buruk orang Indonesia, dan lain lain.

Ohiya, apabila ada yang bertanya-tanya apakah kesamaan Novel ini dengan sekumpulan sajak terdahulu nya yang berjudul sama? Saya bilang tidak ada, novel ini adalah kendaraan lain yang Pak sapardi gunakan untuk mengantarkan karya dan idenya. #katasayalhoya 

Wahai anak muda, yuk cintai sastra Indonesia, baca buku ini, selami keindahan kata-katanya, walaupun perlu mengerutkan kening sedikit untuk mencerna setiap kalimat.hihihi

Saya juga mau jadi kayak Sarwono ah, meski zadul, selera musiknya luar biasa, kelas Internasional, jazz. Ini lah salah satunya lagu favorit Sarwono.


Happy Reading, Fellas!

1 comment:

  1. BTW, sekarang udah ada aplikasi yang bisa dipakai untuk cekapakah hari ini terjadi hujan di daerah sekitar. semoga bermanfaat bung...

    ReplyDelete

Free Speech is Human Right! Speak up! Voice your opinion below. XO